GERIMIS SENJA BULAN DESEMBER

KARYA SINANDHI

asya Allah... bagus betul puisi ini!” sebuah desah lirih terdengar di samping Nia. Sepasang jemari lembut teman sekamarnya memegang sebuah tabloid terbaru terbitan kampus. Teman Nia yang satu ini memang gemar baca puisi, dan Nia tak pernah tahu puisi siapa yang dibaca sahabatnya. Lagi pula apa urusan Nia dengan puisi-puisi itu. Dibiarkan teman sekamarnya itu makin asyik dengan bacaannya.
“Nia...!” panggilan mendadak sempat mengagetkan Nia. “Coba simak apa yang kubaca ini,” lanjutnya pula. Sementara itu Nia tak menyahut, dan dibiarkan sedetik kemudian sahabatnya membaca apa yang akan ditunjukkannya:

SAJAK RINDU
Oleh: SINANDHI

Sewarna mata panah
Yang kita lepaskan kemarin
d u l u
Dari busur yang berbeda
Ujung panahmu tepat pada sudut
h a t i k u

Yang tak pernah aku katakan
Pada setiap perjumpaan
k a n g e n
r i n d u
tertikam; menancap
s e m a k i n d a l a m...

“Siapa pengarangnya, Lia?” tanya Nia
“Dirahasiakan.” Jawabnya singkat.
“Masak sih, biasanya ada nama samaran?” Nia penasaran.
“Ada, tapi sama saja. Di sini tertulis SINANDHI, ‘kan sama dengan dirahasiakan.” Jawab Aulia.
Memang telah lama Nia mengakui, bahwa temannya yang satu ini termasuk introfert, cenderung suka dengan hal-hal yang bersifat rahasia, isyarat, filsafat dan juga apapun istilahnya, tak terkecuali masalah puisi. Bagi Nia apa yang baru saja dibaca sahabatnya sama sekali tak bisa tertangkap maknanya (atau mungkin si Nia ini memang goblok, ya?). Lagi pula puisi itu ditulis ‘kan bukan untuk Nia, apa pula pedulinya. Tapi rasa persahabatan yang baik tak memperbolehkan Nia untuk tak menanggapi apa yang telah dibaca Aulia, teman paling alim yang pernah dikenalnya. So, Nia harus tetap menyediakan diri untuk mendengar komentar-komentar tentang apapun yang disukai sahabatnya. Sebagaimana Lia sendiri selalu dengan setia mendengar apapun yang diceritakan Nia padanya.
“Lia, ngomong-ngomong kamu kok jadi suka banget sama puisi-puisi itu, sih? “ tanya Nia di suatu kesempatan.
“Tak hanya puisi Nia, malah aku suka cerpen-cerpennya juga.” Jawab Lia yakin.
“Cerpen-cerpennya?” tanya Nia bergumam. “Cerpen siapa?”
“Ya, cerpen-cerpen pengarang misteri itu,” jawaban Aulia kali ini makin membuatku penasaran. Sejak kapan temanku ini gandrung pada dunia sastra, padahal kami kuliah di jurusan yang sama sekali nggak ada urusan dengan karya sastra.
“Pengarang misteri yang mana lagi sih?”
“SINANDHI, baru saja aku baca cerpennya. Tadinya aku cuma penasaran baca judulnya, ya aku teruskan saja ke isinya.”
“Judulnya apa sih? Jadi pengin tahu.”
“Dua Batang Penantian,” jawabnya sambil menunjukkan GEMA (Tabloid Kampus untuk kalangan mahasiswa yang memang ada rubrik khusus untuk berkarya sastra) edisi terbaru.
“Mau baca, Nia? Bagus kok.”
“Nggak ah, malas. Aku mau tidur duluan.”
Sementara itu, Aulia masih tetap asyik dengan apa yang dibacanya. Di luar jendela kamar, angin malam berhembus semilir menyapa setiap orang, seolah mengingatkan bahwa malam semakin larut. Dan di cakrawala, semilyar gemintang bercanda dengan kedipan-kedipan matanya. Juga jarum jam tetap tak pernah lelah merayapi angka demi angka dengan langkahnya yang lambat bagai kura-kura.
Kurnia telah lelap dalam tidurnya. Sedangkan Aulia masih larut dengan rasa penasarannya untuk mengetahui ending cerpen yang dibacanya. Tak dirasanya hawa dingin malam menyelimuti tiap jengkal kulit tubuhnya. Setiap aksara yang dibacanya, semakin membuatnya penasaran. Siapakah gerangan pengarang yang menyembunyikan jati dirinya itu. Tak ia sadari bahwa ia telah larut dalam cerita yang dibacanya. Aulia betul-betul ingin tahu siapa sebenarnya pengarang cerita ini.
Ketika akhirnya ia selesaikan bacaannya, saat itu pula ia terhenyak dari kursi duduknya. Ia lirik jam yang menggantung di dinding kamar.
“Astaghfirullah... setengah satu!” gumamnya lirih. Ia bergegas mengambil air wudlu dan beberapa saat kemudian, kesunyian malam dan kesenyapan kamarnya menjadi saksi kekhusyu’annya menunaikan sholat lail, sebuah kebiasaan yang selalu ia kerjakan di saat kebanyakan insan yang lain terbuai dalam mimpinya. Mungkin inilah yang membuat wajah gadis ini memancarkan sebuah kecantikan yang hakiki. Kecantikan yang selalu dibasuh dengan air wudlu, kecantikan yang telah lama bersembunyi di balik kulit wajahnya, yang meskipun jarang bahkan hampir tak pernah tersentuh make-up, tapi kecantikan itu semakin berseri dari hari ke hari.
Seusai ia melipat kain rukuhnya, Aulia membuka buku hariannya. Diambilnya sebatang pena dan ia pun mulai menarikannya:
Subhanallah... Maha suci Engkau Ya Allah, sungguh tak akan pernah ada segala keindahan di dunia ini kecuali atas KuasaMu. Malam ini telah aku baca sebuah cerita yang membuatku semakin tunduk dan sujud atas kebesaranMu Ya Allah, begitu indah dan santun bahasa yang ia tuliskan, begitu menyentuh cerita yang dikisahkan.
Aku betul-betul penasaran, siapakah gerangan hamba Mu yang menulis cerita dan puisi-puisi itu. Ya,... kalau saja aku dapat berkenalan dengannya. Tapi... ah mungkinkah ?
Ya Allah jika apa yang aku tuliskan malam ini merupakan sebuah kesalahan dan dosa, maka ampunilah segala kesalahan dan dosa-dosaku. Tapi jika apa yang telah aku tuliskan ini merupakan karuniaMu, maka hamba berdo’a atas kemurahanMu Ya Allah, dapatkah aku bertemu dengan pengarang itu ...?

Dan diakhirinya pengakuan malam itu. Aulia sudah tak sanggup menahan kantuknya. Sesaat kemudian gadis ini telah dijaga tujuh ribu malaikat saat melewati malam dengan mimpi-mimpi indahnya.
*****

adi,... Ashadi,...” sebuah teriakan memanggil-manggil. Seorang lelaki muda menghentikan langkahnya mendengar panggilan itu. Sesaat kemudian dicarinya asal suara itu. Teman sebayanya berlari kecil menghampirinya.
“Ada apa, Gus ?”
“Dicari Mas Yudi, suruh segera ke sekretariat secepatnya!”
“Mas Yudi?,... ada apa ya ?”
“Ya nggak tahu! Datang saja dulu ke sana, mungkin suruh ambil honor puisi dan cerpenmu yang dimuat kemarin.”
“Oalah itu to ? Nggak penting, aku mau ke perpustakaan dulu. Mau kerjakan tugas akhir.” Ashadi terus melangkah dan Gustaf Ali terus pula mengikuti langkah karibnya.
“Nggak penting yo’opo se rek? ‘Kan bisa buat biaya bikin makalah tugas akhir.” Gustaf mendesak.
“Sudahlah Gus, aku mau cari bahan dulu buat tugas akhir semester, kalau mau ikut ayo. Kalau nggak, ya sudah ambil saja sendiri, bilang ke Mas Yudi aku yang nyuruh.” Ashadi seolah tak mempedulikan lagi apa yang dikatakan temannya. Langkah-langkah kakinya semakin cepat menuju ke perpustakaan kampus.
“Lho,... jangan marah gitu. Aku tadi diwanti-wanti sama Mas Yudi, suruh segera nggolek-i awakmu. Mas Yudi bilang redaksi GEMA kebanjiran surat setelah puisi dan cerpenmu dimuat.” Gustaf mencoba untuk menjelaskan, tapi Ashadi terus saja melangkah ke perpustakaan. Apa daya,... Gustaf pun mengikuti sahabatnya.
Pada saat menjelang ujian akhir semester ruang baca perpustakaan biasanya selalu penuh dengan mahasiswa-mahasiswa yang merangkum bahan tugas akhir. Mahasiswa hampir dari semua jurusan nampak begitu sibuk membolak-balik buku referensi sesuai dengan disiplin ilmunya masing-masing. Di sebuah pojok ruangan yang mirip aula itu, duduk dua orang gadis yang juga tampak sibuk dengan beberapa tumpukan buku di hadapannya. Sesekali mereka nampak membincangkan sesuatu. Salah seorang diantaranya berjilbab biru tua dengan bros bunga melati dipadu dengan blus lengan panjang yang berwarna lebih muda. Keanggunan gadis itu makin sempurna dengan rok warna ungu tua.
Wajah gadis jilbab biru itu sungguh memancarkan keteduhan jiwa. Dari tatap matanya, dari sederhana tingkah lakunya, dan juga dari lembut suaranya saat bertutur-kata. Sungguh merupakan penampilan feminis yang sempurna.
Sementara tak jauh dari tempat mereka duduk, dengan jarak kira-kira dua meja, Ashadi dan Gustaf juga nampak suntuk dengan buku-buku referensinya. Meskipun terlihat agak serius, sebenarnya ada yang dirisaukan oleh Ashadi di saat itu. Hatinya bertanya-tanya, ada apa gerangan Mas Yudi mencarinya. Ada apa pula sehingga redaksi GEMA kebanjiran surat. Namun yang lebih mengganggu lagi adalah suara bisik-bisik dua gadis di seberang meja terdengar olehnya. Bisik-bisik yang juga menggunjing tentang cerpen dan puisi yang pernah ditulisnya.
Ashadi mencoba tak menghiraukan kegalauan pikirannya itu. Ia coba mengusirnya dengan tetap membaca. Deretan aksara yang ia baca hanya beberapa saat saja bisa terbaca sebagai kata dan kalimat yang bermakna. Sesaat kemudian, deretan aksara itu menjelma menjadi garis-garis hitam yang menggumpal. Tatapannya menerawang kosong. Sudah hampir lima menit ia tak berpindah halaman. Gustaf tanggap atas kejanggalan yang terjadi pada sahabatnya.
“Ngelamun Ya,...?” Gustaf menyenggol kaki Ashadi di bawah meja dengan ujung sepatunya. Sedetik kemudian Ashadi tergeragap dibuatnya. Ashadi mencoba kembali ke halaman bukunya, namun itupun tak berlangsung lama. Konsentrasinya buyar. Perbincangan dua gadis di seberang meja samar-samar menyebut nama samarannya dan mengomentari buah penanya. Ashadi memberanikan diri untuk mencuri pandang. Duhai betapa mempesonanya wajah yang menyimpan keteduhan itu. Sesaat ia terkesima pada gadis berjilbab biru, tatapan mata Ashadi menggenggam erat wajah nan jelita itu.
“Bawa pulpen, Gus?” Gustaf tak menjawab. Ia langsung mengulurkan tangan dan memberikan penanya. Hanya ekor matanya yang mencoba mencari tahu apa yang hendak ditulis karibnya.
Ashadi membuka block notenya, mulailah ia menuliskan bait-bait aksara:
PESONA

Dari serakan aksara
Kucoba mengeja merangkai sebuah kata
Tanpa lagu,
Tempo
dan irama
Tak bakal haru,
Kagum
Dan puja pula
Hanya sisakan satu makna...
Di saat Ashadi hendak mengakhiri sajaknya, tiba-tiba datang menghampiri nya si jilbab biru.
“Maaf Mas, boleh saya pinjam penanya ?”
Tersentak kaget, bagai tertabrak matahari mukanya, Ashadi cepat-cepat menutup apa yang baru saja ditulisnya.
“Oh,... iya. Bisa... bisa, ini.” Alamaaak !!! Mengapa bisa gugup begitu. Sejak kapan kau begitu gugup Ashadi. Mana keberingasanmu. Mana Ashadi yang tak punya rasa takut. Kok jadi ciut nyali? Mana bongkahan batu karang yang tegar itu? Mana???
Betulkah keramahan dan kesantunan tutur sapa si jilbab biru itu menghancurkan karangmu? Benarkah setiap sapa gadis belia nan jelita akan membawa dampak psikis seperti itu? Ashadi...Ashadi...lihatlah kekakuanmu itu. Lihatlah betapa dinding dan kipas angin yang menggantung di perpustakaan terpingkal-pingkal menertawakanmu. Dan lihat pula Gustaf Ali menahan tawa menyaksikan gelagapanmu.
“Rupa-rupanya ada juga mahasiswa pujangga yang gugup menghadapi wanita.”
“Gibas!!!,... jangan nyindir kamu.”
“Ha...ha...ha... Aku nggak nyindir, Cak. Kau ‘kan pernah bilang: segala ucapan yang berdasar kenyataan itu ‘kan nggak bisa dikategorikan sindiran.”
“Embuh !!!” Ashadi bersungut-sungut.
“Ayo cabut...” tanpa menunggu reaksi temannya, Ashadi melangkah meninggalkan tempat itu.
“Eiit..., tunggu dulu. Mana pulpenku tadi.”
“Minta saja sendiri.” Jawab Ashadi enteng sambil menggelengkan kepala ke arah jilbab biru. Dengan tanpa merasa berdosa pula ia tinggalkan tempat itu.
“Ooo..., wong edan, nggak tanggung jawab.” Gustaf mengumpat, tapi ia sendiri nggak punya keberanian untuk meminta kembali penanya. Dan iapun menyusul langkah Ashadi yang tak diketahuinya hendak pergi kemana.
Sementara itu dua gadis masih sangat serius membuat resume bacaannya. Di langit-langit ruang baca itu, menggantung enam buah kipas angin besar yang dengan setia mengusir rasa gerah semua mahasiswa yang ada di bawahnya. Sinar matahari yang telah agak lama condong ke langit barat menerobos dengan warna kuning keemasan melalui kaca jendela. Sinar itu mengusap hangat wajah dua gadis yang kebetulan posisi mejanya menghadap ke jendela.
“Astaghfirullah... Nia !!! Kemana cowok yang kupinjami pena tadi ?” Aulia baru menyadari bahwa ia dan sahabatnya menjadi mahasiswa terakhir yang masih ada di ruang itu.
“Ya nggak tahu Non... memangnya aku terus mengawasinya ?” Nia jadi ikut tergesa-gesa mengemasi buku-buku bacaannya.
“ Terus bagaimana dengan pena ini ?”
“ Ya ampun Lia... Sudah bawa saja.”
“ Nggak baik membawa barang milik orang,”
“Eh kamu tadi ‘kan pinjam, to ? Nggak apa-apa wong masih dipinjam kok.”
“Iya,... tapi... kemana aku harus mengembalikannya.” Aulia tampak begitu terbeban dengan pena itu.
“Sudahlah, Lia. Paling-paling besok ia kembali ke sini. Yuk, pulang.” Aulia tak menjawab, hanya langsung melangkah mengikuti ajakan Kurnia. Sepanjang langkah kakinya, ia menyimpan kegundahan hati tentang siapa pemilik pena itu.
“Lia, temani aku ke kosan Mas Wawan, ya !” ajak Nia sambil menuruni anak tangga lantai dua.
“Udah kangen ya ?” Lia menggoda sahabat sekamarnya.
“Pasti dong... tapi aku mau mengantar sesuatu untuknya.” Seperti biasa Aulia selalu menuruti ajakan sahabatnya.

ua gadis itu lenyap membelok ke kanan pada sebuah gang di gerbang luar kampus. Matahari di langit barat masih tersenyum dengan warna kuning keemasan. Arakan gumpalan mega mengantarnya pulang menyusup ke pelukan alam. Dan dua gadis jelita itu telah berada di teras sebuah kosan mahasiswa. Kurnia mengeluarkan sebuah bingkisan kecil dari dalam tasnya dan Wawan (cowok kerempeng tapi cukup handsome dan termasuk paling brillian di jurusannya) menerimanya dengan sangat senang. Wawan baru ingat bahwa hari itu hari ultahnya. Kurnia segera mengajak pulang sahabatnya. Ia memang tak pernah berlama-lama mengunjungi TTMnya. Lagi pula, etika pergaulan mengharuskan ia mengambil sikap seperti itu. Siapapun yang menjunjung tinggi etika adat ketimuran, haruslah mematuhi adanya semacam hukum konvensional yang disepakati: bahwa memang kaum Hawa tak seharusnya berlama-lama berada di sarang kaum Adam.
Tak berselang begitu lama, Ashadi dan Gustaf memasuki mulut gang. Dari kejauhan mereka sempat menangkap bayangan dua gadis keluar dari pintu kos-kosannya. Seiring dengan menyusupnya sang raja siang ke pelukan alam yang telah berselimut langit kemerah-merahan, dua gadis telah sampai pula di kosan mereka yang memang tak terlalu jauh dari kosan yang baru saja disinggahinya.
“Siapa tadi, Wan ?” tanya Ashadi pada Wawan yang masih berdiri di pintu pagar. Sementara Gustaf langsung nyelonong masuk, meninggalkan dua temannya di teras depan.
“Yang mana, to ?” Wawan balik bertanya sambil mengecup bingkisan kecil yang belum diketahui isinya.
“Dua cewek tadi, lho.”
“Ooo..., cewekku! Kenapa ?”
“Yang mana...? Jilbab biru itu?” tanya Ashadi menyelidik.
“Bukan,... satunya lagi.”
“Lha yang jilbab biru tadi siapa ?”
“Teman sekamar Nia.”
“Namanya Nia?”
“Nia is my girl, the other one is Aulia. Lailil Aulia Rizky.” Jawab Wawan.
Entah mengapa Ashadi begitu lega mendengar jawaban Wawan, bahwa si jilbab biru itu bukan ceweknya. Dan semakin lega ia mengetahui nama lengkapnya: Lailil Aulia Rizky. Nama yang cukup menyimpan keanggunan, seanggun pemilik nama itu sendiri.
“Had, tadi Mas Yudi mencarimu ke sini. Dia titip sesuatu buat kamu, aku taruh di meja kamarmu.”
“Nggak ada pesan apa-apa?”
“Suruh buat cerpen dan puisi lagi. Katanya mau ada lomba cerpen dan puisi di Surabaya Post.”
“Thank’s, Wan.” Ashadi segera menuju ke kamarnya. Penasaran dengan sesuatu yang dibawakan Mas Yudi.
Ashadi mengakhiri do’a Maghribnya. Dilepasnya kopyah, kain sarung dan dilipatnya pula dengan rapi kembali sajadah panjangnya. Sepintas ia teringat sesuatu... dibukanya document keeper dari Mas Yudi. Berpuluh surat yang masih bersampul ada didalamnya.
“Dari siapa Had ?”
“Yo... gak eruh, Gus. Lihat sendiri ‘kan, aku baru mau membukanya.”
“Ooo... dari Mas Yudi, eh dari GEMA to?” Ashadi tak menyahut. Ia ambil satu per satu dan hanya ia baca nama pengirimnya saja yang tak satupun ia kenal.
“Kau kenal nama ini, Gus ?”
“Sopo...?” Ashadi menjawab dengan menyodorkan satu surat.
“Venny Kemala Fatma Ratih,... Koyo’e tau krungu aku. Ehmmm... iya, aku ingat, dia anak seni tari.” Gustaf memang banyak kenal gadis-gadis di kampus ini.
“Tapi dia sudah punya pacar kok Had !”
“Gak takon, ............. !”
Hadi melanjutkan pada pengirim surat yang lain.
“Boleh tak baca Had ?”
“Pe’en kabeh wis.!” Jawab Ashadi sambil memberikan semua surat itu. Entah mengapa tiba-tiba ia merasa sangat malas menanggapi (meskipun dengan hanya sekedar membaca) surat-surat itu. Mungkin ada sesuatu yang mengusik hati dan pikirannya.
“Ealah... ngono ae muring-muring.”
“Enggak, lha la po kok muring-muring. Aku lagi gak mood Gus.” Hadi merebahkan diri di pembaringannya.
“Yo wis tak wocone. Dengarkan! Itung-itung buat pelepas lelah, Oke?”
“Up to You...”
Dan Gustaf mulai membacanya satu per satu. Mulai dari: Venny Kemala Fatma Ratih, Wahyuningrum, Renaning Widyawati, Rina Kusuma Wardani, Puspita Pratiwi, Wiwik Wahyu Ilahi, Maria Margareta Tuti Hari Widya Astuti (amit-amit, jenenge wong sak kampung kok dipek kabeh). Puji Astuti, Dwi Setyorini, Peni Istiniati, Endang Puspita Dewi, Ninik Gondowati, Ratna Wijayanti, Retno Sri Hartiningrum, Lilis Suryani, Titik Yulismawati, Khoirun Nisa’i Lailatin, Laila Alfia Syahrin, Fatma Az Zahra, Wulandari, dan masih banyak lagi nama-nama pengirim surat yang lain.
Sementara itu, Ashadi memahat langit-langit kamarnya dengan bayangan seraut wajah yang sanggup membuatnya menjadi lelaki paling gugup di dunia. Wajah gadis yang ditemuinya di perpustakaan kampus siang tadi. Tutur kata lembut yang keluar dari bibir gadis itu betul-betul meruntuhkan dinding karang yang selama ini memang melekat di jiwa kelelakiannya. Ia ingat baik-baik wajah gadis itu, tak ia hiraukan Gustaf terus mengeja nama-nama yang berkirim surat padanya.
“Lailil Aulia Rizky,...” mendadak Ashadi meloncat dari pembaringannya begitu mendengar nama itu disebut Gustaf. Secepat kilat ia menyambar surat itu.
“Lho, lho,...lho...ada apa dengan surat itu Had, kok main srobot aja ?”
“Ente boleh ambil semua surat itu, tapi jangan yang satu ini.”
“Memangnya,...?”
“Nggak ada memangnya-memangnya ! This name is very special for me, you know ?”
“No, I don’t. Memang siapa dia,...?” tanya Gustaf menyelidik.
“Mau tahu saja kau ini. Udah sana let me alone!,” Ashadi beranjak dari duduknya dan mendorong teman sekamarnya keluar kamar.
“Jangkrik-i,... ‘ntar dulu...,” Gustaf sewot,” Apa-apaan ini. Had,........,” tapi Ashadi tetap saja mendorongnya keluar.
“It’s very important, Gus. It’s very special in my life, I believe that you are still my best friend, so please let me alone, OK!,” Ashadi tak menghiraukan omelan Gustaf, dan ia segera mengunci kamar dari dalam.
“Gibas elek!, ... Londo gosong!, ... Wong gemblung!, ... awas yo ko’n! Mugo-mugo gak isok pipis telung wulan,...” Gustaf tampak sangat sewot dan tak bisa menerima perlakuan Ashadi. Betapapun begitu, di hati kecilnya ia pun mengakui bahwa bila sudah seperti itu Ashadi betul-betul tak mau diganggu. Seperti halnya apa yang ada di benak Hadi dalam kamar. Ia tahu bahwa Gustaf tak akan sebegitu marah padanya, paling umpatan-umpatan kosong sahabatnya hanya sebatas ucapan belaka.
Sebuah sampul surat warna merah jambu. Dihiasi vignet bunga melati. Di bagian depan tertulis dengan huruf bergaya corsiva : To Someone that campus people call: SINANDHI (eh tapi sebentar, kalo di cerita ini ada kata-kata yang asing di telingamu, kamu-kamu pada ngerti nggak artinya?).
Dengan sangat berhati-hati dan sambil menahan nafasnya, Hadi mengucap Basmallah. Sesaat kemudian dibukanya perlahan isi surat itu:
Di atas pangkuan bumi Ketintang
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Subhanallah... Maha suci Engkau Ya Allah, sungguh tak akan pernah ada segala keindahan di dunia ini kecuali atas KuasaMu. Malam ini telah aku baca sebuah cerita yang membuatku semakin tunduk dan sujud atas kebesaranMu Ya Allah, begitu indah dan santunnya bahasa yang ia tuliskan, begitu menyentuh cerita yang dikisahkan.
Aku betul-betul penasaran, siapakah gerangan hamba Mu yang menulis cerita dan puisi-puisi itu. Ya,... kalau saja aku dapat berkenalan dengannya. Tapi... ah mungkinkah ?
Ya Allah jika apa yang aku tuliskan malam ini merupakan sebuah kesalahan dan dosa, maka ampunilah segala kesalahan dan dosa-dosaku. Tapi jika apa yang telah aku tuliskan ini merupakan karuniaMu, maka hamba bersyukur atas kemurahanMu Ya Allah, dapatkah aku bertemu dengan pengarang itu ...?

Mas Sinandhi,...
Maaf bila surat yang saya tuliskan ini merupakan sebuah kelancangan, atau bahkan kesalahan yang mengusik ketenangan waktu Mas. Apa yang saya tulis di atas adalah sebuah pengakuan setelah saya membaca DUA BATANG PENANTIAN dan TAPI CINTA BUKAN BALASAN yang Mas Sinandhi tuliskan. Dan entah bagaimana tiba-tiba saya mengambil pena dan menuliskan pengakuan di buku harian. Saya nggak bisa dan nggak pandai merangkai kalimat seindah yang Mas tuliskan di puisi-puisi dan di cerpen-cerpen Mas. Tapi biarlah saya mencoba untuk menulis sebuah pengakuan bahwa semakin saya membaca karya-karya Mas, semakin penasaran pula hati saya untuk ingin mengetahui siapa sebenarnya Mas Sinandhi. Saya sadar bahwa gadis seperti saya ini mungkin tidak punya arti bagi seorang pengarang seperti Mas. Tapi sekali lagi biarlah saya mencoba untuk mengusir penasaran hati saya.

Mas Sinandhi,...
Akankah kau dengar pengakuan ini,...
Wassalamu’alikum Wr. Wb.
TTD
Lia
Dilipatnya kembali surat beraroma melati itu. Surat yang baru dibacanya, seolah menyejukkan udara dalam kamarnya. Ditariknya nafas dalam-dalam. Semua kegalauan perlahan hilang larut dalam setiap kata yang ditulis pengirim yang punya nama panggilan LIA itu. Lega rasanya. Tak berapa lama kemudian disimpannya semua isi surat itu dengan rapi tepat di sudut hati.
Sejenak kemudian Hadi merebahkan tubuhnya di pembaringan, di langit-langit kamarnya makin kuat gambaran wajah gadis jelita: si Jilbab biru itu. Matanya yang redup tapi sejuk, mata yang memancarkan cahaya kelemahlembutan calon seorang ibu. Jemari tangan yang lentik, teringat oleh Hadi betapa lembut tangan gadis itu saat menerima pena yang dipinjam di perpustakaan tadi. Juga bentuk bibirnya yang fasih menuturkan kata-kata yang bersahaja, bentuk bibir seperti itu sangat tidak pantas bertutur kotor. Dan mancung hidungnya, rona pipinya juga. Wajah gadis ini akan memerah bila ia terserang pilek atau tertampar rasa malu. Dan ternyata tak hanya wajahnya yang menyimpan sejuta keteduhan, tutur kata dengan suara lirihnya seolah menyampaikan pesan bahwa ia adalah gadis yang sangat tidak pantas untuk dikurangajari. Gadis seperti ini hanya patut dan pantas menerima sebuah ketulusan hati untuk memberinya cinta, kasih dan sayang yang sejati.
Tak hanya itu yang membuat Hadi terpesona. Surat LIA lain dengan surat-surat yang pernah ia terima dari para gadis yang mengaku gemar membaca karyanya. Tak satu pun di antara surat mereka yang mengawali sapa dengan Salam. Surat dari LIA sama sekali lain. Aroma melati yang menebar dari sampul surat LIA menyampaikan pesan kesucian, bukankah melati memang melambangkannya. Kata-katanya bernuansa Islami, nuansa yang sanggup mengubah atmosfer jiwa Hadi makin bening berarti.
Sementara itu, malam baru saja melangkahkan kakinya meninggalkan waktu Isya’. Di luar kamar, di teras depan suara Gustaf terdengar mendendangkan tembang-tembang seirimg suara petikan gitarnya. Memang dalam kelihaian memetik gitar, Hadi tak sepiawai Gustaf Ali Ama. Hadi hanya tersenyum kecil saat dia mendengar sepenggal syair lagu yang dinyanyikan sahabatnya:
Lelaki hanya berdiri di tepian telaga
Menyusuri kesunyian hati ada rindu dalam hatinya
Ada embun jatuh setitik, ... di ujung ... hatinya ...
Pada air dia berkaca membayangkan kekasih
Bersandar pundak di sisinya, ranting jatuh air memecah
Di dalam lingkaran air,... lelaki ... sendiri ...
...........................................................................................................

Semilir angin di luar jendela menggoda daun-daun, tak tahan dengan godaan nakal sang angin daun-daun pun mendesah, seolah meronta melepaskan diri dari tangan-tangan sang angin. Setelah menunaikan rokaat demi rokaat Isya’nya, Hadi tampak menuliskan sesuatu pada lembaran-lembaran kerjanya. Tak tahu apa yang telah dituliskan. Yang pasti malam itu ia merasakan sesuatu yang ia sendiri tak bisa mengungkapkannya. Sesuatu yang sanggup membuat tangannya mampu menorehkan pena untuk mengejar cita-cita dan angan-angannya. Sesuatu yang menerangi hatinya. Sesuatu yang mempunyai tangan-tangan lembut dan membuai jiwanya. Sesuatu itukah yang banyak disebut orang dengan kata: k a s m a r a n.
Memang begitulah seharusnya, bila nikmatnya sebuah hati yang kasmaran datang menghampiri hati anak manusia hendaknya dijadikan penggugah semangat hidup, semangat belajar, semangat berjuang dan berkarya. Bukankah nikmat seperti ini juga harus diterima sebagai karunia Illahi. Dan bila hati anak manusia bisa menerima sebagai karuniaNya, hendaknya pula diikuti dengan rasa syukur. Yang pada akhirnya bertambahlah keyakinan kita tentang kebenaran yang hakiki. Bahwa cinta sejati hanya dari dan milik Illahi.
Hadi tak menyadari bahwa Gustaf telah menghentikan nyanyiannya dan kini telah berada di tempat tidurnya. Beberapa saat kemudian hening. Telah beberapa saat pula sang malam datang dan duduk di samping Hadi. Malam datang membawa temannya yang bernama kesunyian, angan-angan dan kenangan. Sementara pena Hadi terus berbicara dan bercerita di atas kertas kerjanya. Sesekali terdengar Hadi menarik nafas panjang dan menghentikan tulisannya. Meski malam dan kawan-kawannya mengetahui apa yang ditulis Hadi, namun mereka tak pernah mengusik atau mengganggunya. Seperti di hari-hari yang lalu, mereka datang hanya sekadar menemani.

*****



ia, Lia!!!... sudah baca GEMA yang baru?”, sebuah suara hampir saja membuat jantung Lia menghentikan tugasnya. Dengan sangat antusias Nia menunjukkan rubrik sastra pada teman karibnya.
“Astaghfirullah,... mbok ya jangan ngagetin gitu”, Lia menyambut GEMA yang disodorkan.
“Ada puisi dari pengarang misteri itu Lia!”.
“Mana ?”, sahut Lia dengan antusias.
Sesaat kemudian sepasang bola mata nan indah milik Lia menapaki tiap aksara yang tertera di rubrik sastra Tabloid terbitan kampusnya:
B I S I K
“Ode” buat: melati
Diakah Tuhan
yang kembalikan batu
pada diamnya
yang hadirkan puspa
dengan harumnya
yang mengusik hati
dengan rindunya

Diakah Tuhan
pengantar sukma purnama
embun bagi jiwa dahaga
Diakah ...?

Seusai membaca puisi itu, Lia teringat dengan surat yang pernah ia kirimkan ke redaksi GEMA. Bukankah suratnya dulu berhias melati dan beraroma melati pula? Bukankah selama ini ia memang sangat menyukai bunga yang dianggap lambang kesucian itu? Bukankah surat itu ia tujukan pada sang pengarang pujaan? Dan betulkah puisi ini ditulis SINANDHI untuknya? Tapi, tidak. Aulia tak berani se-GR itu. Melati di kampus ini tak hanya ia seorang. Dan bisa jadi melati-melati lain itu lebih putih dan lebih harum pula.
“Kok malah ngelamun sih non!”, untuk kedua kalinya Lia jadi tersentak kaget.
“Eh,... enggak kok. Siapa yang ngelamun!” Lia menyangkal.
“Lha itu tadi, apa namanya? Baca puisi tapi kok tatapanmu kosong? Memangnya udah ada yang dilamunkan?” Nia malah meledek.
“Ah,... enggak kok. Nggak ada yang dilamunkan kok”, Lia berusaha menutupi. Ia tak sadar bahwa Nia sejak tadi memperhatikannya. Dan sebenarnya ia merasa belum saatnya untuk menumpahkan segala perasaanya pada sang sahabat. Ia tak berani berGR ria bahwa yang dimaksud dengan “melati” di puisi itu adalah dirinya.
“Ngelamunkan SINANDHI ya?”
“Memang kamu sudah tahu orangnya?”
“Ya belum sih.”
“Kok nuduh aku begitu...?” sangkal Lia masih tetap berusaha menutupi perasaannya.
“Eee,... non, siapa yang nuduh. Aku cuma nanya kok. Kali aja bener ...”
“Ah,.. sudahlah Nia. Jadi nggak kita ke perpustakaan. Tugas akhirku belum selesai nih...”, Lia mencoba mengalihkan perhatian. Tapi rona merah yang baru saja membekas di pipinya tak sanggup membohongi perasaannya. Bahwa sebenarnya ia memang melamunkan pengarang misteri itu.
“Tugasku juga belum,...” jawab Nia sambil bersiap diri. Diambilnya pena dan block notenya.
“Mampir ke kosan Wawan nggak?” tanya Lia.
“Nggak usah deh, dia lagi ke rumah kakaknya kok.”
“Rumah kakaknya mana?”
“Gresik.”
“Kita nanti sholat di mushola perpustakaan saja ya Nia? Dari pada kita pulang dulu?”
“Terserahlah... bagaimana baiknya.” Dan mereka pun berangkat.
Gedung berlantai dua yang banyak menyimpan buku-buku ilmiah di kampus Ketintang itu sudah didatangi banyak pengunjung yang kesemuanya adalah mahasiswa. Di setiap akhir semester perpustakaan memang menambahkan jam pelayanan sampai pukul 21.00. hampir di setiap ruang tak ada tempat kosong. Mulai dari ruang referensi yang menyediakan buku yang hanya boleh dibaca di tempat sampai di ruang khusus koran dan media masa cetak lainnya juga telah dipenuhi mahasiswa. Mungkin kali ini Aulia dan Kurnia datang agak terlambat. Tak ada tempat lagi bagi mereka kecuali ruang baca. Tempat yang memang paling luas itu menjadi alternatif terakhir bagi mereka. Tak lama kemudian kedua mahasiswi dari Fakultas MIPA ini telah asyik dengan buku referensinya masing-masing.
Udara dingin di luar jendela perpustakaan mulai menerobos lewat ventilasi ruangan. Sekelompok mahasiswa yang kebetulan duduk sejajar dengan arah masuknya mulai merasakan dinginnya. Di antara mereka bahkan mulai beranjak pulang dan sebagian lainnya memilih berpindah tempat yang kosong. Sementara di sebuah pojok ruang tampak dua orang sahabat tengah menekuni pula buku referensinya. Salah seorang di antara mereka tampak lebih serius menghadapi bukunya, sedangkan satunya lagi tampak sedikit relaks. Mereka tak menyadari sama sekali bahwa ada sepasang mata gadis yang mengetahui keberadaannya.
“Lia, kita pulang sekarang yuk!”
“Kenapa buru-buru, aku belum selesai bikin resume tugas Pak Beni.”
“Ayolah Lia, cacing-cacing di perutku udah pada menjerit nih!” Nia merengek pada sahabatnya.
“Ya Allah Nia,... kan tadi sebelum Maghrib kamu ‘dah makan. Masak ‘dah lapar lagi?”
“Lia..., please deh. Ntar kalo aku terserang maag kamu yang dosa lho.”
“Iya...iya... kayak anak kecil saja. Sebentar buku-buku ini kita pinjam bawa pulang saja.”
Lia melangkah menuju ke meja petugas perpustakaan untuk meminjam beberapa buku yang dibutuhkan. Dalam hati Nia tersenyum kecil, karena ia sempat mengetahui bahwa cowok yang kemarin dipinjami pulpen ada di ruang itu juga. Cowok yang cukup handsome juga menurutnya. Ia tak mau kalau Lia, sahabatnya itu, hilang konsentrasi belajarnya gara-gara ketemu lagi cowok kemarin. Nia sengaja tak memberi tahu sahabatnya.
“Pulpen yang kamu pinjam kemarin masih kamu bawa, Lia?” pertanyaan Nia memecah kebisuan setelah mereka melewati tikungan dekat gerbang kampus.
“Aku bawa. Memang kenapa?”
“Lho kok tadi ndak dikembalikan?”
“Memang,....?”
“Iya! Tadi pemiliknya ‘kan ada di ruang baca.” Belum sempat Lia terperangah, Nia sudah menyahutnya.
“Memangnya kamu tadi ketemu ?”
“Iya ketemu, waktu kita kembali dari musholla tadi. Dua cowok kemarin duduk di pojok utara.”
“Jahat kamu Nia!” Kali ini Lia nampak cemberut dan sedikit kesal pada sahabatnya. Kekesalan Lia nampak pada rona merah di pipinya yang tampak jelas di bawah terangnya mercury jalan.
“Kenapa tadi nggak bilang ?”
“Yaa..., aku pikir kamu tadi ‘dah tahu, dan aku pikir lagi kamu memang sengaja masih meminjam pena itu.” Nia mencoba berdalih, padahal semua itu ia lakukan dengan sengaja. “Sorry deh...Lia!” dan Lia tak menanggapinya. Rasa kesalnya masih tersisa, betapapun demikian Lia tak kan meninggalkan sahabatnya.
Tanpa terasa merekapun telah sampai di sebuah gang Nirwana, jalan masuk menuju tempat kos mereka.
Sementara itu bel peringatan tanda habisnya waktu belajar di perpustakaan menghenyakkan sebagian mahasiswa yang masih berada di ruang baca. Beberapa di antara mereka nampak dengan tergesa-gesa mengemasi buku-buku bacaannya. Dan di pojok utara ruang baca Hadi dan Gustaf juga bergegas meninggalkan ruang itu.
“Hadi ...” begitu suara Gustaf mencairkan kebekuan “Dua cewek kemarin kok nggak nampak ya?”
“Tadi ada kok.” Jawab Hadi singkat.
“Memang kapan kamu ketemu mereka?”
“Lha yang duduk di pojok seberang tadi ‘kan mereka.”
“Trus, penaku kok nggak kamu minta.”
“Biarin, tadi kulihat masih dipakai kok.” Dengan enteng Hadi menjawab sambil menuruni anak tangga dari lantai dua.
“Tadi siang aku ketemu Mas Yudi, Had, dia nanyakan kamu lagi. Lagian kenapa sih kamu nggak segera ke markas GEMA ?”
“Males aku Gus, tiap aku ke sana banyak cewek yang nyari aku, nyari Sinandhi maksudku.”
“Ngapain harus males Had. Enak kan bisa kenal cewek-cewek. Eh ngomong-ngomong mereka cantik-cantik nggak?”
“Dasar Playboy kacangan. Matamu selalu ijo kalo nglihat cewek cakep.”
“Lho manusiawi kan. Bukankah hal itu menunjukkan kewajaranku sebagai lelaki normal. Eh Hadi, aku pernah membaca bahwa kecantikan di manapun tempatnya harus dinikmati.”
“Ah itu kan pendapat Ashadi Siregar dalam Novelnya.” Sanggah Hadi.
“Memang kamu pernah membacanya juga?”
“Pernah ! ‘Cintaku di Kampus Biru’ kan judulnya.” Hadi menebak. “Gus..., jadi lelaki mbok ya punya prinsip sendiri, jangan ngekor. Apalagi yang kamu ikuti itu prinsip dari novel tahun 70-an. Payah kamu.” Hadi menyindir karibnya dengan ironis.
Gustaf nggak nyangka sama sekali kalo sahabatnya justru lebih tahu tentang novel itu, ia lupa bahwa Hadi lebih jago dalam urusan sastra. Ia lupa bahwa sahabatnya yang bernama lengkap ASMARA HADI ini juga telah banyak menulis karya sastra. Meskipun karya-karyanya baru dimuat di tabloid Kampus dan beberapa di koran regional. Sedikit malu juga Gustaf.
“Gus,... sampai kapan kamu hobi ngoleksi cewek-cewek kampus. Cobalah kamu pikir, kalau semua cewek yang kau dekati itu tahu bila kamu nggak pernah serius memberi harapan pada mereka. Cobalah pikirkan betapa kecewanya mereka nanti, bila suatu saat mereka tahu bahwa segala harapan yang pernah kau titipkan di hati mereka hanyalah manis di bibir saja. Gus...Gus...”
“Itulah kelemahanku Had. Aku selalu saja ingin memiliki semua kecantikan yang pernah kutemui. Aku sendiri heran Had, tiap kali kudekati mereka dan kurayu mereka selalu saja mereka jatuh ke pelukanku. Nah kalau sudah begitu aku selalu saja nggak bisa melepaskan apa yang telah kudapatkan.”
“Terus sampai kapan kau tenggelam dalam kesenangan semu macam itu. Sadarkah kamu Gus? Bila suatu saat nanti semua yang pernah kau tanam akan tumbuh dan berbuah? Kau tebar benih kekecewaan pada setiap cewek yang kau dekati, bagaimana bila nanti kau akan memetik buah keputusasaan?”
Kesenyapan mampir sejenak di kamar mereka. Seolah kesenyapan juga turut mendengar dan membenarkan apa yang dikatakan Hadi pada sahabatnya.
“Entahlah Had, ... Aku sendiri tak pernah berpikir sejauh itu. Bagiku saat ini tak ‘kan pernah kusia-siakan kesempatan. Termasuk kesempatan mengenal cewek sebanyak-banyaknya. Itu saja,”
“Kalau memang itu saja maumu, mengapa harus kau beri mereka harapan”
“Karena aku tak yakin dengan gadis-gadis sekarang ini Had. Aku tak yakin mereka punya kesetiaan.”
“Bagaimana bisa kau dapatkan kesetiaan seseorang, kalau kau sendiri tak pernah mengajarkannya, Gus? Bahkan apa yang selama ini kau lakukan itu justru bertolak belakang dengan apa yang kau sebut dengan setia.”
“Aku selalu takut kehilangan Had, makanya aku selalu cari cadangan”
“Ingatlah Gus... ketakutan itu berawal dari sebuah kekhawatiran kita tentang sesuatu dan karena kau tak punya keyakinan bahwa kesetiaan itu ada dalam hatimu, ia telah lama bersamayam dalam nuranimu tapi kau tak pernah mengajarkannya. Sehingga kau takut dikhianati, dan takut ditinggalkan. Akhirnya kau bersembunyi dari ketakutan itu dengan cara mencari kesenangan semu belaka.”
“Lantas... kamu sendiri?” Gustaf balik bertanya. “Kamu sendiri tak pernah punya teman spesial, pada siapa kesetiaan itu akan kau ajarkan?”
“Dengarlah kawan,...”, Ashadi menepuk bahu sahabatnya. “Kesetiaan itu tak hanya diajarkan pada orang yang kau sebut spesial itu saja. Tapi kesetiaan harus diajarkan pada semua orang. Bukankah matahari telah mengajari kita tentang kesetiaan? Kalaupun sampai sekarang aku belum tertarik pada salah satu gadis, bukan berarti aku tak ingin mengajarkan kesetiaan."
Gustaf tak menyahut, hanya kepulan-kepulan asap Surya 12-nya menerobos keluar jendela kamar. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam ia mengakui betapa semua perkataan sahabatnya itu benar. Dari Ashadi ia banyak mengenal mutiara-mutiara kehidupan. Berulang kali pula ia harus mengakui betapa Ashadi merupakan seorang teman yang memiliki kepribadian matang dalam sikap ketenangan.
Tapi Gustaf belum bisa menghentikan kebiasaan buruknya.
"Aku selalu khawatir dengan kekecewaan karena kehilangan orang yang kita cintai Had, setidaknya sampai saat ini aku sendiri tak sanggup membayangkan bagaimana kecewanya ditinggalkan orang yang kita cintai."
“Percayalah Gus, kekhawatiran itu lebih disebabkan oleh sebuah pengakuan bahwa kamu sendiri tak punya kesetiaan, sehingga kamu akan khawatir bila ditinggalkan. Coba kalau memang kesetiaan itu sudah kamu tanam dan tumbuh subur di hati seseorang — entah orang itu spesial ataupun tidak — pasti tak akan pernah ada kekhawatiran kita untuk ditinggalkan.”
“Memang masih adakah hati yang mau menerima benih kesetiaan dariku, Had?”
“Bergantung...”
“Bergantung apa?”
“Bergantung pada seberapa serius kau berusaha menemukannya.”

*Bersambung..

Comments :

0 komentar to “GERIMIS SENJA BULAN DESEMBER”

Posting Komentar

 

Visitors

Followers

BLOG INI DILINDUNGI OLEH UUHC

myfreecopyright.com registered & protected